PERMASALAHAN MUTU DALAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

1.    PENDAHULUAN

Para founding fathers sadar sepenuhnya bahwa untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan pendidikan. Kesadaran tersebut dituangkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Selanjutnya, pada batang tubuh, pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pada masa reformasi, dengan memperhatikan kondisi global, percepatan akselerasi pembangunan pendidikan menjadi prioritas utama pembangunan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen dan pasal 31 UUD 1945 ditambah ayatnya menjadi

(1)   Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan;

(2)   Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya;

(3)   Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang

(4)   Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5)   Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.[1]

Secara universal, pengakuan bahwa pendidikan merupakan hak setiap umat manusia termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang pada pasal 26 ayat 1 berbunyi “Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama, berdasarkan kepantasan.” Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan yang ideal, yang menggambarkan suatu bentuk sistem persekolahan disertai sistem pendidikan luar sekolah, dengan tahapan yang linier.

Selanjutnya, tonggak penting pembangunan pendidikan setelah kemerdekaan adalah disahkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 jo Undang-Undang no. 12 Tahun 1954.[2] Undang-undang ini merupakan dasar hukum Sistem Pendidikan Nasional yang pertama diundangkan. Dalam perkembangan kehidupan bangsa, Sistem Pendidikan Nasional diatur dengan undang-undang yang sudah dua kali berubah, yaitu UU No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 Tahun 2003.

Dalam semua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah berlaku di Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa pendidikan nasional merupakan alat dan sekaligus tujuan yang sangat penting dalam perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Hal ini, terutama jika dikaitkan de­ngan peran dan fungsi pendidikan nasional dalam pelak­sanaan pembangunan bangsa. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan perkataan lain, pendidikan nasional berfungsi sebagai alat utama un­tuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mu­tu kehidupan dan martabat bangsa.

Faktor pendidikan diyakini memiliki nilai kontribusi yang sangat tinggi bagi produktivitas nasional. Berbagai peneliti­an di sejumlah negara telah membuktikan bahwa peningkatan pendidikan berimplikasi positif dan signifikan terhadap peningkatan national income. Sebagai contoh, peningkatan pendidikan di Amerika Latin telah mampu mengatrol peningkatan “national income” wilayah tersebut hingga 25%. Sebagai implikasi nya­ta dari pengembangan dan peningkatan pendidikan, di Columbia terjadi peningkatan pendapatan nasional dari 7,1% menjadi 11,7%; di Honduras dari 9,4% menjadi 15,6%; dan di Venezuela terjadi peningkatan dari 4,4% menjadi 9,2%.[3]

Peran pendidikan dalam peningkatan produktivitas na­sional yang ditunjukkan oleh data-data estimasi di atas sangat berterima dan beralasan. Hal ini terutama jika ditin­jau dari keberadaan pendidikan yang pada hakikatnya merupakan indirect invesment bagi proses produksi dan direct ivesment bagi peningkatan kualitas sumber daya ma­nusia (human quality). Pendidikan akan meningkatkan dan/atau mempertinggi kualitas tenaga kerja, sehingga memungkinkan tersedianya angkatan kerja yang lebih trampil, handal, dan sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional.

Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional mereka. Sumber daya manusia yang bermutu, yang merupakan produk pendidikan, merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara.

Menyadari hal tersebut, Pemerintah Republik Indonesia secara terstruktur melaksanakan Program Wajib Belajar. Program dimulai dengan Wajib Belajar 6 Tahun yang secara resmi dicanangkan pada tahun 1984 dan dilanjutkan dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dimulai pada tahun 1994. Program ini menargetkan pada tahun 2008[4], semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Dengan bekal itu, diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Menjelang terminal akhir tuntasnya Wajib Belajar 9 Tahun, fokus pembangunan pendidikan yang dilaksanakan pemerintah mulai bergeser pada pilar peningkatan mutu dan relevansi pendidikan. Pada jenjang pendidikan dasar, mulai tahun ini (2008) pemerintah mulai mengurangi program perluasan dan pemerataan akses dan menambah anggaran untuk meningkatkan mutu pendidikan.[5] Hal ini dilakukan karena terjadi kesenjangan yang merisaukan antara upaya perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan. Realita di masyarakat saat ini, walaupun kesempatan memperoleh pendidikan pada tingkat SD sudah di atas 96% dan SMP sudah di atas 92%, namun ternyata kehidupan bangsa yang cerdas masih jauh dari terwujud.[6]

2.    RUMUSAN MASALAH

Uraian pada bagian pendahuluan dapat disimpulkan bahwa warga negara tanpa pandang bulu berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu, minimal sampai pada jenjang pendidikan dasar. Kenyataannya, melalui Program Wajib Belajar hampir semua warga negara telah mendapatkan kesempatan menikmati layanan pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah, namun belum dapat menikmati layanan pendidikan yang bermutu.

Menimbang uraian tersebut dan keterbatasan waktu dan daya yang dimiliki penulis, makalah ini akan mengkaji permasalahan mutu pendidikan, dengan fokus kajian pada:

a)      Bagaimana mutu kurikulum, proses belajar mengajar, dan tenaga kependidikan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun ?

b)      Bagaimana mutu hasil belajar program Wajib Belajar Sembilan Tahun?

3.    KAJIAN KONSEPTUAL

Berdasarkan rumusan masalah, pada bagian ini akan diuraikan konsep-konsep berikut ini.

a)      Wajib Belajar

1)      Latar Belakang Pelaksanaan Wajib Belajar

Program Wajib Belajar pada hakikatnya merupakan upaya sistematis pemerintah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam keseluruhan pem­bangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan in­formasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), yang muaranya adalah mendekatkan pada pencapaian tujuan pembangunan nasional, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, Program Wajib Belajar juga merupakan salah satu pengembangan skenario pendidikan yang dijangkaukan untuk per­luasan dan pemerataan kesempatan belajar bagi setiap warga negara. Kebijakan tersebut merupakan salah satu pengejawantahan isi pasal 31 UUD 1945 ayat 1 yang me­nyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hal ini sejiwa dengan Hasil Konferensi Pen­didikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien, Thailand, Maret 1990. Konferensi yang dihadiri oleh 1500 peserta dari 155 negara tersebut menegaskan bahwa “pen­didikan merupakan hak bagi semua orang dan juga dapat membantu secara meyakinkan orang menjadi lebih aman, lebih sehat, lebih berhasil, dan lebih berwawasan ling­kungan”.[7]

Dalam kaitannya dengan pendidikan untuk semua ter­sebut, deklarasi pen­didikan untuk semua di Indonesia, khususnya berkaitan dengan pengembangan pendidikan dasar, adalah pen­didikan semesta (Universal Education). Artinya, sistem pendidikan nasional di Indonesia dikerangkakan untuk membuka dan memberikan kesempatan seluas-luasnya ke­pada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar.

Sejalan dengan isi deklarasi tersebut, awalnya Program Wajib Belajar di Indonesia dimaknai sebagai pemberian kesempatan belajar seluas-luasnya kepada setiap warga ne­gara untuk mengikuti pendidikan sampai dengan tingkat pendidikan tertentu .

Ditinjau dari dimensi pembangunan nasional secara ke­seluruhan, Program Wajib Belajar merupakan salah satu bentuk kebijakan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Meskipun secara makro, peningkatan sumber daya manusia tersebut juga mencakup aspek sosial dan ekonomi, namun dimensi utama dan kuncinya adalah pendidikan.

Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kua­litas sumber daya manusia Indonesia tersebut, sistem pen­didikan nasional harus dapat memberikan pendidikan da­sar bagi setiap warga negara agar masing-masing mem­peroleh sekurang-kurangnya pengetahuan dan kemampu­an dasar yang diperlukan untuk dapat berperan serta da­lam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, Program Wajib Belajar mendesak untuk dilaksanakan sehubungan dengan tuntutan untuk me­ningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu aset dan potensi utama pembangunan nasional.

Menyadari betapa besar dan penting peran pendidikan dalam peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah mengambil langkah antisipatif dengan pencanangan dan pemberlakuan Program Wajib Belajar bagi setiap warga negara. Pada tahap awal Pe­merintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar 6 Tahun yang pada dasarnya merupakan prasyarat umum bahwa setiap anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) harus dapat membaca, menulis, dan berhitung.

Program Wajib Belajar 6 Tahun yang dicanangkan Pe­merintah pada PELITA III tersebut telah memberikan dam­pak positif dan hasil yang menggembirakan, terutama pa­da percepatan pemenuhan kualitas dasar manusia Indo­nesia. Salah satu hasil yang paling mencolok dirasakan, bahwa Program Wajib Belajar 6 Tahun tersebut telah mam­pu menghantarkan Angka Partisipasi (Murni) Sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan pendidikan bagi seluruh warga negara dan juga dalam upaya meningkat­kan kualitas sumber daya manusia Indonesia, Pemerintah melalui PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar menetapkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Orientasi dan prioritas kebijakan tersebut, antara lain: (1) penuntasan anak usia 7-12 tahun untuk Sekolah Dasar (SD), (2) penuntasan anak usia 13-15 tahun untuk SLTP, dan (3) pendidikan untuk semua (educational for all).

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan mampu mengantarkan manusia Indonesia pada pemilikan kom­petensi Pendidikan Dasar, sebagai kompetensi minimal. Kompetensi Pendidikan Dasar yang dimaksudkan, mengacu pada kompetensi yang termuat dalam Pasal 13 UU No. 2/1989 yaitu kemam­puan atau pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diper­lukan untuk hidup dalam masyarakat serta untuk meng­ikuti pendidikan yang lebih tinggi (pendidikan menengah).[8] Hal ini juga relevan dengan unsur-unsur kompetensi pen­didikan dasar yang harus dikuasai lulusan seperti yang diidentifikasi oleh The International Development Research Center, meliputi: (1) ke­mampuan berkomunikasi; (2) kemampuan dasar berhitung; (3) pengetahuan dasar tentang negara, budaya, dan se­jarah; (4) pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam bi­dang kesehatan, gizi, mengurus rumah tangga, dan mem­perbaiki kondisi kerja; dan (5) kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat sebagai individu dan se­bagai anggota masyarakat, memahami hak dan kewajiban­nya sebagai warga negara, bersikap dan berpikir kritis, serta dapat memanfaatkan perpustakaan, buku-buku ba­caan, dan siaran radio.[9] Program wajib belajar 9 tahun yang didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), juga sejalan dengan Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak.[10]

Di samping itu, menurut May, wajib belajar 9 tahun juga bertujuan merangsang aspirasi pendidikan orangtua dan anak yang pada gilirannva diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional.[11] Untuk itu, target penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi sesuai dengan target yang ditentukan namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan pelaksanaan pendidikan yang mangkus (efektif).

Pelaksanaan dan ketuntasan program wajib belajar juga mampu mengurangi angka kemiskinan. Melalui pendidik ini pula, bangsa Indonesia mampu mencapai cita-citanya, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Pendidikan adalah kekuatan”, maka Bangsa Indonesia akan segera terbebas dari kebodohan dan kemiskinan serta menjadi bangsa yang unggul pada kompetisi global.

Lebih lanjut, wajib belajar merupakan fondasi bagi pengembangan .jenjang pendidikan lebih lanjut dan kemajuan peradaban bangsa khususnya dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman dan kompetisi tingkat global. Pendidikan dasar juga mampu mewujudkan masyarakat yang cerdas, dan ekonomi yang mapan sehingga negara menjadi maju.[12]

Di sisi lain, pelaksanaan wajar baik 6 tahun maupun 9 tahun secara umum bertujuan untuk: 1) memberikan kesempatan setiap warga negara tingkat minimal SD dan SMP atau yang sederajat, 2) setiap warga negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, 3) Setiap warga negara mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, dan 4) Memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

2)      Strategi Pelaksanaan Wajib Belajar

Strategi pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia, saat ini, dilaksanakan dengan menerapkan beberapa pendekatan, meliputi: pendekatan budaya, pendekatan sosial, pendekatan agama, pendekatan birokrasi, pendekatan hukum, serta pendekatan konteks.[13]

(a) Pendekatan Budaya

Sosialisasi wajib belajar dilakukan dengan memanfaatkan budaya yang berkembang di daerah tersebut; misalnya daerah yang masyarakatnya senang dengan seni, maka pesan-pesan wajib belajar dapat disisipkan pada gelar seni. Masyarakat yang sangat menghormati adat, maka tokoh adat dilibatkan dalam pemikiran dan pelaksanaan sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu. Sanksi adat biasanya lebih disegani daripada sanksi hukum.

(b) Pendekatan Sosial

Sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bila dalam masyarakat ada tokoh yang disegani dan bisa menjadi panutan, maka tokoh ini perlu dilibatkan dalam sosialisasi. Tokoh masyarakat ini bisa berasal dari tokoh formal, maupun tokoh non formal. Pada masyarakat ekonomi lemah, sosialisasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang pelayanan pemerintah untuk pendidikan, misalnya BOS ataupun beasiswa. Bila anak sibuk membantu kerja orangtua, anak tidak harus berhenti bekerja, tetapi disampaikan jenis pendidikan alternatif yang bisa diikuti oleh anak yang bersangkutan, misalnya SMP Terbuka atau program Paket B.

(c) Pendekatan Agama

Pada daerah tertentu ada yang masyarakatnya sangat agamis dan sangat mentaati ayat-ayat suci. Untuk daerah seperti ini peran para tokoh agama sangat sesuai. Dengan mengutip ayat-ayat suci, maka konsep wajib belajar lebih mudah diikuti. Untuk ini motto “belajar adalah ibadah” yang didasarkan atas kajian yang sangat mendalam oleh para tokoh agama dapat diangkat menjadi motto dalam sosialisasi Wajar Dikdas sembilan tahun yang bermutu.

(d) Pendekatan Birokrasi

Pendekatan birokrasi ialah upaya memanfaatkan sistem pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan tim koordinasi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan merupakan salah satu bentuk pendekatan birokrasi. Birokrasi ditempuh karena dengan pendekatan ini lebih mudah diperoleh berbagai faktor penunjang baik tenaga, sarana, maupun dana. Namun demikian pendekatan ini akan lebih berhasil bila digabung dengan pendekatan yang lain.

(e) Pendekatan Hukum

Pendekatan hukum ialah pendekatan yang hanya digunakan untuk daerah yang masyarakatnya memiliki kesadaran terhadap pendidikan sangat rendah dan tingkat resistensinya tinggi. Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai saat ini masih memberlakukan konsep “universal basic education” dan belum menerapkan konsep “compulsary education”. Artinya, program wajib belajar baru sebatas himbauan tanpa diikuti sanksi hukum. Namun jika diperlukan, UU Nomor 20 tahun 2003, memberi kemungkinan kepada pemerintah untuk menerapkan konsep “compulsary education”, sehingga berkonsekuensi adanya sanksi hukum bagi yang tidak mau melaksanakan tanggung jawabnya terhadap program wajib belajar, baik pemerintah, pemerintah daerah, orangtua, maupun peserta didik.[14]

Untuk mempercepat akselerasi penuntasan wajib belajar, pada tahun 2006 pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Inpres ini menginstruksikan kepada para Menteri terkait, Kepala BPS, Gubernur, Bupati dan Walikota untuk memberikan dukungan dan mensukseskan program pemerintah yang dimaksud.

3)      Kondisi Pencapaian Wajib Belajar 9 Tahun

Indikator yang dipakai pemerintah untuk mengukur ketercapaian Program Wajib Belajar 9 Tahun adalah pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK).[15] APK adalah hasil perhitungan jumlah siswa SMP/sederajat di suatu daerah dibagi jumlah penduduk usia 13 s.d. 15 tahun dikali 100%. Tingkat ketuntasan daerah dalam melaksanakan program Wajar Dikdas 9 Tahun dikategorikan: [16]

a. Tuntas pratama, bila APK mencapai 80% s.d. 84%

b. Tuntas madya, bila APK mencapai 85 % s.d. 89%

c. Tuntas utama, bila APK mencapai 90% s.d. 94%

d. Tuntas paripurna, bila APK mencapai minimal 95%.

Data terakhir menunjukkan ketercapaian program Wajib Belajar 9 Tahun masing-masing provinsi di Indonesia adalah sebagai berikut:

No Provinsi 2007/2008 APK(%) APM(%)
Penduduk13-15 th Σ Siswa
SMP/MTs/
Sederajat
Σ siswa
SMP/MTs/Sederajat

13-15 th

1 DKI Jakarta 442.956 498.097 391.922 112.45 88.48
2 Jawa Barat 2.186.045 1.943.421 1.490.052 88.90 68.16
3 Banten 583.785 518.269 393.703 88.78 67.44
4 Jawa Tengah 1.759.819 1.705.813 1.324.931 96.93 75.29
5 DI Yogyakarta 142.876 159.591 125.276 111.70 87.68
6 Jawa Timur 1.776.005 1.771.364 1.353.905 99.74 76.23
7 NAD 282.309 280.756 217.101 99.45 76.90
8 Sumatera Utara 857.185 842.192 658.420 98.25 76.81
9 Sumatera Barat 295.202 277.194 215.539 93.90 73.01
10 Riau 281.154 275.696 213.574 98.06 75.96
11 Kepulauan Riau 59.294 57.029 44.937 96.18 75.79
12 Jambi 173.451 161.252 122.995 92.97 70.91
13 Sumatera Selatan 483.026 409.543 319.472 84.79 66.14
14 Bangka Belitting 56.536 50.353 39.794 89.06 70.39
15 Bengkulu 104.882 96.653 75.977 92.15 72.44
16 Lampung 476.568 436.718 336.373 91.64 70.58
17 Kalimantan Barat 284.874 219.021 172.249 76.88 60.46
18 Kalimantan Tengah 131.923 105.475 81.844 79.95 62.04
19 Kalimantan Selatan 204.479 167.407 126.474 81.87 61.85
20 Kalimantan Timur 179.603 160.319 126.227 89.26 70.28
21 Sulawesi Utara 122.372 119.467 93.691 97.63 76.56
22 Gorontalo 59.584 46.321 36.025 77.74 60.46
23 Sulawesi Tengah 167.188 127.612 97.679 76.33 58.42
24 Sulawesi Selatan 488.850 409.633 319.773 83.80 65.41
25 Sulawesi Barat 61.068 48.908 38.411 80.09 62.90
26 Sulawesi Tenggara 146.957 130.434 102.526 88.76 69.77
27 Maluku 89.424 80.424 63.532 89.94 71.05
23 Maluku Utara 62.007 54.517 42.385 87.92 68.36
29 Bali 155.716 155.379 123.311 99.78 79.19
30 Nusa Tenggara Barat 276.435 263.519 201.723 95.33 72.97
31 Nusa Tenggara Timur 302.678 211.221 168.406 69.78 55.64
32 Papua 144.757 104.530 82.387 72.21 56.91
33 Papua Barat 51.326 38.315 29.331 74.65 57.15
Indonesia 12.890.334 11.926.443 9.229.945 92.52 71.60

Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang Depdiknas Tahun 2007.

b)     Mutu Pendidikan

Mutu secara etimologis bersinonim dengan kata ‘kualitas, bobot, derajat, jenis, karat, kadar, kelas, nilai, taraf’.[17] Dengan kata lain, mutu adalah kondisi (kualitas, bobot, derajat, dst) barang atau jasa yang dihasilkan dari sebuah proses. Batasan mutu biasanya diserta deskripsi proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa tersebut.

Pembahasan tentang mutu biasanya tidak dilepaskan dari tonggak sejarah yang menempatkan mutu sebagai esensi utama yang harus dipertimbangkan dari sebuah rencana kerja (produksi). Dua nama yang sering disebut sebagai “Bapak Mutu” adalah Dr. W. Edward Deming dan Dr. Joseph M. Juran. Keduanya adalah konsultan mutu berkebangsaan Amerika yang berhasil secara gemilang “membangunkan” industri di Jepang setelah hancur lebur pasca Perang Dunia II. Keduanya menempatkan kontrol mutu menjadi salah satu gugus kerja dalam proses produksi. Dalam bidang pendidikan Juran menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah “mengembangkan program dan layanan yang memenuhi ke­butuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat”.[18]

Lewis dan Smith secara lebih rinci menterjemahkan bahwa mutu secara keseluruhan (total quality), termasuk dalam bidang pendidikan, mencakupi tiga ranah yang wajib diperhatikan yaitu: seluruh proses, seluruh pekerjaan, dan seluruh personil yang terlibat.[19] Pertama, total quality mencakup seluruh proses, bukan hanya proses produksi semata. Di dalamnya juga harus tercakup pengembangan proses perancangan, pembangunan, penelitian dan pengembangan, akunting, pemasaran, layanan perbaikan, dan seluruh fungsi lainnya. Kedua, total quality menghendaki dilaksanakannya setiap pekerjaan yang terkait dalam proses secara prima (profesional). Ketiga, total quality menghendaki semua orang yang terlibat dalam pekerjaan bertanggung jawab atas kualitas pekerjaan yang menjadi tugasnya. Wanprestasi pada salah satu pekerjaan akan sangat berpengaruh pada kualitas pekerjaan secara keseluruhan.

Dalam bidang pendidikan, untuk bisa menghasilkan mutu, terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :[20]

1.      Menciptakan situasi menang-menang (win-win solution) dan bukan situasi kalah­ menang diantara pihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.

2.      Perlunya ditumbuhkembangkan motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.

3.      Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten.

4.      Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, harus dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.

Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha jasa yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut.

Pelanggan layanan pendidikan terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok.[21] Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa mahasiswa/ pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas lem-baga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial.

Seperti disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.

Potensi perkembangan, dan keaktifan murid tentu saja merupakan yang paling utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Perkembangan fisik yang baik, baik jasmani maupun otak, menentukan kemajuannya. Demikian pula dengan lainnya, misalnya bakat, perkembangan mental, emosional, pibadi, sosial, sikap mental, nilai-nilai, minat, pengertian, umur, dan kesehatan; kesemuanya akan mempengaruhi hasil belajar dan mutu seseorang. Untuk itu, maka perhatian terhadap paserta didik menjadi sangat penting.

4.    PEMBAHASAN

Mutu pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator. Pada makalah ini, mutu pendidikan akan dibahas dari beberapa sudut pandang dan indikator, meliputi kurikulum, sumberdaya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), dan prestasi hasil pendidikan (hasil UN).

a)      Mutu Kurikulum dan Proses Pembelajaran

Dalam UU No. 2 Tahun 1989, materi yang disajikan menurut kurikulum pendidikan dasar (sekolah dasar dan sekolah menengah pertama) terdiri atas mata pelajaran:

a)                  Pendidikan Pancasila.

b)                  Pendidikan agama.

c)                  Pendidikan kewarganegaraan.

d)                  Bahasa Indonesia.

e)                  Membaca dan menulis.

f)                   Matematika, termasuk berhitung.

g)                  Pengantar sains dan teknologi.

h)                  Ilmu bumi.

i)                    Sejarah nasional dan sejarah umum.

Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003:

a)                  Pendidikan agama.

b)                  Pendidikan kewarganegaraan.

c)                  Bahasa.

d)                  Matematika.

e)                  Ilmu pengetahuan alam.

f)                   Ilmu pengetahuan sosial.

g)                  Seni, budaya, dan olahraga; serta

h)                  Keterampilan, kesenian, dan muatan lokal.

i)                    Kerajinan tangan dan kesenian.

j)                    Pendidikan jasmani dan kesehatan.

k)                  Menggambar.

l)                    Bahasa Inggris.

Kedua ketentuan dalam UU No. 2 tentang Sisdiknas dan RUU Sisdiknas (2003) tampaknya berbeda, tetapi hakikatnya yang perlu dipertanyakan adalah mengapa mata pelajaran tersebut yang disajikan. Misalnya dalam UU Sisdiknas tahun 2003, mata pelajaran seni, budaya, dan olahraga dikelompokkan dalam satu gugus. Apa bedanya dengan dipisahkannya menggambar dan kesenian pada UU No. 2 Tahun 1989. Demikian pula dengan IPS. Dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 dengan ilmu bumi, sejarah pada UU No. 2 Th. 1989. Pertanyaannya adalah apakah benar mata pelajaran tersebut menunjang tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan nasional.

Philip Phenix menyarankan kurikulum pendidikan dasar memuat enam wilayah yang bermakna dalam menjadikan peserta didik memahami makna dunia di mana mereka hidup dan mengembangkan diri. Keenam ranah makna tersebut yaitu: symbolics, empirics, synnoetics, aesthetics, ethics, dan synoptics (realms of meaning). [22]

a)      Wilayah pertama symbolics, biasanya terdiri atas mata pelajaran bahasa, matematika, dan mata pelajaran lain yang memuat/mempelajari simbol-simbol arbitrer. Kelompok mata pelajaran ini bermanfaat bagi peserta didik untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan diri.

b)      Wilayah kedua empirics, berisi mata pelajaran ilmu fisika alam, ilmu hayat (tentang kehidupan), dan ilmu yang mempelajari fisik manusia. Ilmu ini menyediakan deskripsi faktual, generalisasi, formula dan penjelasan teoretis yang dilandaskan pada observasi dan eksperimen.

c) Wilayah ketiga esthetics, berisi mata pelajaran seni misalnya seni musik, seni visual, seni gerak dan seni sastra.

d) Wilayah keempat synnoetics, berisi mata pelajaran yang membekali peserta didik memiliki saling memahami sesama dan memiliki kepekaan sosial.

e)      Wilayah kelima ethics, berisi mata pelajaran yang membekali peserta didik etika dan budi pekerti.

f)       Wilayah keenam, Synoptics, mengacu pada mata pelajaran yang bersifat pemahaman integratif untuk membekali peserta didik menjadi manusia madani. Termasuk dalam kelompok ini adalah sejarah, agama, dan filsafat.

Kandungan pengetahuan yang terdapat di dalam setiap wilayah dan sub-wilayah demikian luas. Karena itu pendidikan perlu memilih yang esensial, mengutamakan pemilihan mata pelajaran agar para pelajar dapat mempelajari sesuatu sampai tingkat memahami makna yang dipelajari bagi kehidupannya.

Soedijarto berangkat dari pemikiran ini, mengemukakan empat prinsip dasar dalam memilih media pelajaran dari setiap wilayah arti, yaitu:

a.               bahan pelajaran harus diambil dari disciplined of inquiry;

b.              bahan pelajaran harus dipilih dari konsep-konsep utama suatu disiplin yang mewakili hakikat disiplin tersebut;

c.               bahan pelajaran mengutamakan method of inquiry; dan

d.              bahan pelajaran harus dapat mendorong peserta didik berpikir secara imajinatif.[23]

Kurikulum yang diterapkan pada program Wajar Dikdas 9 Tahun masih jauh dari harapan terciptanya sistem pendidikan yang memungkinkan peserta didik mengalami “joy of discovery” dalam proses belajarnya. Diterapkannya KTSP sebagai produk UU No. 20 tahun 2003 belum membuat kondisi mutu pendidikan meningkat.

Untuk mendorong pendidikan, khususnya di negara berkembang, berlangsung efektif, Unesco me­lalui International Commision on Education for The Twenty First Century,[24] mengusulkan empat pilar belajar, yaitu Learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Jika empat pilar tersebut dapat diterapkan secara paripurna, dapat diartikan proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan mene­rapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempat­an berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional.

Kita bisa melihat, betapa tingginya tuntutan terhadap peran yang diharapkan dari pendidikan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda agar dapat melakukan transformasi budaya. Suatu tuntutan yang pada hakikatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.

Pada sisi lain, kondisi mutu guru di Indonesia juga masih belum ideal. Secara nasional  jumlah guru dari TK sampai dengan SMA berjumlah 2.245.952 orang. Dari jumlah tersebut, guru yang memenuhi syarat menurut UU No. 20/2003, artinya yang telah memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau lebih, baru berjumlah 37,3% (837.460 orang). Sedangkan guru yang “belum layak”, atau memiliki pendidikan di bawah S1/D4  jumlahnya masih berjumlah 1.408.492 orang. [25]

b)     Mutu Hasil Ujian Nasional

Peningkatan mutu pendidikan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dapat dilihat dari beberapa indikator. Salah satu indikator esensial adalah prestasi hasil belajar peserta didik. Walaupun masih menjadi bahan perdebatan panjang, hasil Ujian Nasional (UN) diyakini masih bisa menjadi bukti empiris prestasi belajar peserta didik yang secara nasional diakui memiliki validitas dan reliabilitas tinggi. Direktur Pembinaan SMP menyatakan “Peningkatan mutu pendidikan di SMP, dan mutu Wajar Dikdas, dapat dilihat dari tingginya nilai rerata UN, kecenderungan kenaikan nilai rerata UN, dan tingginya tingkat kelulusan peserta didik”.[26]

Ujian Nasional untuk SMP telah diselenggarakan setiap tahun sejak tahun ajaran 2002/ 2003 sampai saat ini. Pada awalnya, terdapat tiga mata pelajaran pada SMP yang diujikan dalam UN, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Mulai tahun ajaran 2007/2008, mata pelajaran yang diujikan dalam UN menjadi empat mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Hasil UN untuk SMP, baik untuk setiap sekolah, kab/kota, dan provinsi, serta secara nasional telah dianalisis secara kuantitatif dan didokumentasikan secara resmi oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik), Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Hasil UN tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut oleh Direktorat Pembinaan SMP agar dapat diinterpretasi dan dimaknai secara tepat sehingga menghasilkan informasi yang akurat Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk kepentingan pengambilan kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang SMP.

Analisis terhadap data hasil UN dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, dilakukan rekapitulasi data rerata nilai UN dan persentase kelulusan secara nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini untuk melihat gambaran mutu pendidikan secara umum. Kedua, berdasarkan nilai rerata UN sekolah, dilakukan pengelompokan kategori atau level mutu sekolah untuk melihat secara rinci kondisi mutu di tingkat sekolah.

No Kategori/Level Sekolah dengan Nilai UN
1. Sangat Baik    (A) Jumlah nilai UN ≥ 22,5 atau

Rerata UN ≥ 7,5.

2. Baik                (B) Jumlah nilai UN antara 22,49 s.d 19,5 atau Rerata UN 7,49 s.d 6,5.
3. Cukup             (C) Jumlah nilai UN antara 19,45 s.d 16,5 atau Rerata UN 6,49 s.d 5,5.
4. Kurang            (D) Jumlah nilai UN antara 16,49 s.d 13,5 atau Rerata UN 5,49 s.d 4,5.
5. Sangat Kurang (E) Jumlah nilai UN ≤ 13,49 atau

Rerata UN ≤ 4,49.

Pengelompokan kategori atau level sekolah berdasarkan nilai UN digunakan sebagai dasar dalam pemetaan sasaran program peningkatan mutu. Sekolah-sekolah yang masuk dalam level Sangat Baik (A) diprioritaskan untuk mendapatkan program peningkatan mutu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), dan Sekolah Standar Nasional (SSN). Sekolah sekolah pada level Baik (B) termasuk kategori Sekolah Potensial diprioritaskan mendapatkan program peningkatan mutu untuk menuju SSN. Sekolah-sekolah dengan level Cukup (C), Kurang (D), dan Sangat Kurang (E) masuk dalam kategori Sekolah Rintisan. Sekolah-sekolah dalam kategori Rintisan tersebut akan mendapat berbagai program untuk pembenahan dan peningkatan mutu dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Berdasarkan data hasil UN dari Puspendik, disusun tabulasi mengenai perbandingan rerata nilai UN dan pesrsentase peserta didik SMP sejak tahun 2004/2005 sampai dengan 2007/2008 seperti terlihat pada tabel di bawah ini.[27]

No Tahun Ajaran Rerata Nilai UN Peserta UN Kelulusan Peserta
BIN ING MAT IPA Rerata Jumlah %
1. 2004/2005 6,64 6,15 6,57 6,45 2,363,816 2,057,123 87,03
2. 2005/2006 7,46 6,62 7,13 7,07 2,387,807 2,205,303 92,36
3. 2006/2007 7,39 6,72 6,96 7,02 2,485,766 2,332,728 93,84
4. 2007/2008 7,00 6,80 6,68 7,00 6,87 2,518,561 2,337,935 92,83

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa rerata UN 2005/2006 mengalami peningkatan 0,62, dari 6,45 pada tahun 2004/2005 menjadi 7,07. Namun demikian, rerata UN ini mengalami sedikit penurunan pada tahun 2006/2007 sebesar 0,05. Demikian juga pada tahun ajaran 2007/2008 nilai rerata UN juga mengalami penurunan sebesar 0,15. Penurunan rerata UN secara nasional terutama pada tahun 2007/2008 perlu mendapat perhatian yang serius, baik dari Direktorat Pembinaan SMP maupun seluruh Dinas Pendidikan Provinsi dan Kab./Kota.

Persentase kelulusan peserta didik SMP sejak tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007 mengalami kenaikan yang cukup besar. Tingkat kenaikan persentase kelulusan dari tahun ke tahun adalah dari tahun 2004/2005 ke 2005/2006 sebesar 5,33%; dan dari tahun 2005/2006 ke tahun 2006/2007 sebesar 1,48%. Hal ini mengindikasikan makin meratanya mutu lulusan dan makin sedikitnya jumlah peserta didik yang tidak lulus. Meskipun demikian, pada tahun ajaran 2007/2008 terdapat penurunan persentase kelulusan sebesar 1,01%

No Kategori Jumlah Sekolah pada Tahun Ajaran
2004/2005 2005/2006 2006/2007 2007/2008
1. Sangat Baik      (A) 2.042 5.098 5.240 4687
2. Baik                 (B) 6.401 9.478 9.778 9829
3. Cukup              (C) 8754 6332 6197 7104
4. Kurang             (D) 4028 1362 1733 2054
5, Sangat Kurang (E) 675 183 254 619

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa jumlah sekolah yang masuk kategori Sangat Baik mulai dari tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007 cenderung naik secara berarti. Demikian pula jumlah sekolah kategori Baik juga cenderung naik. Dari kondisi tersebut dapat ditegaskan bahwa mulai tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007, upaya peningkatan mutu sekolah telah berhasil dengan baik .

Jumlah sekolah kategori Cukup pada tahun 2004/2005 sampai dengan 2006/2007 cenderung turun. Hal inii disebabkan adanya cukup banyak sekolah yang pada awalnya berkategori Cukup mengalami kenaikan kategori menjadi Baik, dan bahkan Sangat Baik. “Hal ini merupakan indikasi keberhasilan program peningkatan mutu pada periode tersebut”.[28]

Pada tahun ajaran 2004/2005 sampai 2005/2006, jumlah sekolah kategori Kurang dan Sangat Kurang mengalami penurunan yang berarti. Hal ini juga merupakan indikasi keberhasilan program peningkatan mutu pada periode tersebut. Namun demikian, pada tahun 2006/2007 dan 2007/2008 terjadi peningkatan jumlah sekolah berkategori Kurang dan Sangat Kurang. Sebaliknya, terjadi penurunan jumlah sekolah kategori Sangat Baik . Ini berarti terdapat sejumlah sekolah yang mengalami penurunan kategori atau terjadi penurunan mutu sekolah.

Secara keseluruhan hasil rerata ujian untuk masing-masing provinsi adalah sebagai berikut.

NO. PROVINSI 2004/2005 2005/2009 2006/2007 2007/2008
RerataUN Lulus(%) RerataUN Lulus(%) RerataUN Lulus(%) RerataUN Lulus(%)
1 DKI Jakarta 6.56 95.93 7.24 91.34 7.11 99.99 7.36 99.98
2 Jawa Barat 6.64 93.91 7.40 97.95 7.34 98.43 7.41 98.96
3 Jawa Tengah 6.09 84.76 7.09 87.80 6.92 90.37 6.46 90.64
4 D.I. Yogyakarta 6.08 82.62 7.34 87.01 7.20 90.96 6.72 91.53
5 Jawa Tirnur 6.61 89.98 7.37 92.62 7.44 96.61 7.35 96.67
8 NAD 5.46 65.60 6.98 93.03 6.07 78.01 6.74 83.85
7 Sumatera Utara 6.49 92.33 7.03 94.86 7.24 98.52 6.90 92.15
8 Sumatera Barat 6.25 81.15 7,24 93.54 7.04 95.92 6.61 91.89
9 Riau 6.09 6,7.23 7.05 95.56 6.64 91.37 6.57 96.48
10 Jambi 6.03 61.36 7.06 9536 6.86 94.97 7.12 98.05
11 Sumatera Selatan 6.18 91.52 6.94 97.41 7.18 99.44 7.10 98.38
12 Lampung 5.90 79.59 6.70 89.00 6.75 93.71 6.62 91.05
13 Kalimantan Barat 5.35 70,22 6.04 68.00 5.92 73.69 5.72 73.60
14 Kalimantan Tengah 5.92 86.01 6.36 89.03 6.74 99.44 6.68 98.21
15 Kalimantan Selatan 5.63 69.21 6.49 86.91) 6.62 90.60 6.73 92.21
16 Kalimantan Timur 5.91 84.78 6.82 95.90 7.00 99.13 6.89 99.39
17 Sulawesi Utara 6.55 91.39 7.19 97.31 7.15 98.59 7.06 98.38
18 Sulawesi Tengah 5.04 71.98 6.48 89.65 6.14 83.93 5.90 81.01
19 Sulawesi Selatan 6.84 95.22 7.42 96.36 7.48 95A2 6.57 86.44
20 Sulawesi Tenggara 6.33 9.20 8,06 94.58 6.55 87.49 6.80 92.84
21 Maluku 5.86 62.19 6.84 92.67 6.84 95.45 6.62 92.64
22 Bali 6.03 90.43 7.61 95.43 7.82 98.89 7.85 99.20
23 NTB 5.93 84.75 6.47 93.19 6.26 84.49 6.38 84.12
24 NTT 5.22 64.47 5.80 65.15 5.43 65.38 5.00 46.38
25 Papua 5.55 66.98 6.31 86.71 6.41 69.30 6.38 90.54
26 Bengkulu 5.37 63.55 6.28 75.11 6.33 85.59 6.45 84.74
27 Maluku Utara 6.21 90,13 6.10 80.61 6.38 92.84 6.34 95.12
28 Bangka Belitung 5.81 74.17 6.42 83.44 6.33 80.76 5.83 71.77
29 Gorontalo 6.38 30.88 7.03 96.60 6.93 97.46 7.03 97.45
30 Banten 6.25 87.63 6.91 98.12 7.11 99.06 6.85 93.42
31 Papua Barat 5.52 17.38 6.55 94.93 6.16 92.80
32 Kepulauan Riau 6.04 80.63 6.59 81.63 7.01 92.91 6.30 82.87
33 Sulawesi Barat 6.85 94.53 6.78 97.23 6.33 92.28
Nasional 6.45 87.03 7.07 92.36 7.02 93.84 6,87 92,82

Sumber: Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik), Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.

Jika dilihat dari tingkat provinsi, terlihat deviasi nilai dari daerah-daerah yang maju dengan tingkat kesejahteraan baik mendapatkan nilaiUN cenderung tinggi. Sebaliknya, provinsi yang “miskin” nilai rerata hasil UN siswa SMP relatif lebih rendah. Dari tabel data di atas, nilai rerata UN SMP provinsi Bali pada tiga tahun terakhir merupakan yang terbaik, menduduki ranking pertama. Nilai rerata UN Provinsi Bali tiga berturut-turut adalah tahun 2005/2006 = 7,61; tahun 2006/2007 = 7,82; dan tahun 2007/2008 = 7,85. Di samping nilai reratanya terbaik, juga tiap tahunnya cenderung naik. Bahkan, pada tahun 2007/2008 terjadi kenaikan rerata UN, meskipun secara nasional terjadi penurunan nilai UN karena ditengarai soal UN tahun 2007/2008 lebih sulit dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sangat menggembirakan, dan patut menjadi teladan bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nilai rerata UN SNIP Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk terendah, dan patut mendapat perhatian serius. Nilai rerata UN tiga tahun terakhir Provinsi NTT adalah tahun 2005/2006 = 5,80; tahun 2006/2007 = 5,43; dan tahun 2007/2008 = 5,00. Nilai tersebut jauh di bawah nilai rerata UN secara nasional. Di samping itu, selama tiga tahun terakhir nilai tersebut cenderung turun secara berarti. Selain NTT, terdapat tiga provinsi lain yang nilai rerata UN-nya termasuk rendah, yaitu di bawah 6,00. Ketiga provinsi tersebut adalah Kalimantan Barat, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat.

Beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab rendahnya nilai rerata UN Provinsi NTT antara lain: tingkat sosial ekonomi masyarakat yang sebagian besar tergolong menengah ke bawah, kondisi geografis daerah yang kurang subur dan kekeringan, belum optimalnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, dan sistem pengelolaan pendidikan yang masih perlu dibenahi. Para siswa belum dapat fokus dan berkonsentrasi untuk belajar karena harus membantu orang tua mengatasi kesulitan hidup sehari-harinya. Untuk membenahi dan meningkatkan mutu pendidikan di Provinsi NTT diperlukan pengkajian yang sistematis dan upaya serta alokasi sumber daya yang memadai. Penyebab rendahnya nilai rerata UN ketiga provinsi lainnya pada dasarnya hampir sama. Faktor belum optimalnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, kemiskinan, dan sistem pengelolaan pendidikan ditengarai lebih dominan pada ketiga provinsi tersebut.

5. KESIMPULAN

Program Wajib Belajar 9 Tahun akhir tahun ini ditargetkan tuntas dengan indikator pencapaian APK SMP secara nasional minimal 95%. Data yang ada memperlihatkan bahwa APK SMP pada akhir tahun  2007 telah mencapai angka 92,52%. Artinya, ditilik dari perluasan akses pendidikan, program Wajib Belajar Sembilan Tahun sampai sejauh ini dinyatakan sukses.

Namun demikian, keberhasilan perluasan dan pemerataan akses pendidikan tidak seiring dengan dengan keberhasilan meningkatkan mutu pendidikan. Kurikulum dan materi pelajaran yang disajikan pada jenjang pendidikan dasar masih belum mampu membuat peserta didik mengalami “joy of discovery” dalam proses belajarnya.  Organisasi kurikulum belum mengarah pada proses pembelajaran yang membuat siswa learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Jika empat pilar tersebut dapat diterapkan secara paripurna, dapat diartikan proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan mene­rapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempat­an berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya.

Pada sisi lain, kondisi mutu guru di Indonesia juga masih belum ideal. Secara nasional  jumlah guru dari TK sampai dengan SMA berjumlah 2.245.952 orang. Dari jumlah tersebut, guru yang memenuhi syarat menurut UU No. 20/2003, artinya yang telah memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau lebih, baru berjumlah 37,3% (837.460 orang). Sedangkan guru yang “belum layak”, atau memiliki pendidikan di bawah S1/D4  jumlahnya masih 1.408.492 orang

Sementara itu, mutu hasil pendidikan yang diukur melalui Ujian Nasional, memperlihatkan deviasi pencapaian rerata nilai yang cukup jauh. Anak-anak dari  daerah yang maju dengan tingkat kesejahteraan baik, rata-rata mampu mendapatkan nilai UN cenderung tinggi. Sebaliknya, provinsi yang “miskin” nilai rerata hasil UN siswa SMP relatif lebih rendah. Dengan demikian, jika nilai hasil UN digunakan sebagai standar mutu pendidikan sebenarnya kurang tepat. Hal ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan masing-masing daerah, misalnya: tingkat sosial ekonomi masyarakat, kondisi geografis, kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan, dan sistem pengelolaan pendidikan, sangat bervariasi.


[1] Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 hasil Amandemen ke-III dalam Sidang Umum MPR tahun 2003.

[2] Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 jo Undang-Undang no. 12 Tahun 1954 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Dasar di Seluruh Indonesia

[3] World Bank, The World Bank Annual Report Fiscal Year 2001, Washington DC, 2002

[4] Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajar Dikdas 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar disesuaikan dari tahun 2003/2004 menjadi tahun 2008/2009.

[5] Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Peningkatan Mutu dan Perluasan Akses SMP (Dekonsentrasi), ((Departemen Pendidikan Nasional, 2008) h. 34-37

[6] Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008) h. 26.

[7] The World Bank Annual Report, 1991:52.

[8] Dalam perkembangannya, dengan diundangkannya UU NO. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan, kompetensi minimal yang harus dikuasai oleh lulusan pendidikan dasar (peserta Wajib Belajar 9 Tahun) diatur dengan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.

[9] IDRC, World Literacy, 1989, h 115.

[10] Prayitno, Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak. (Padang: Jurusan BK FI P UNP, 2000.) h 34.

[11] M, May, Pekerja Anak dan Perencanaan (AusAID, 1998) h. 65.

[12] David Atchoarena dan Francoise Caillods. Pendidikan Untuk Abad XXI (UNESCO: Unesco Publishing, 1998)

[13] Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Sosialisasi Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu, (Departemen Pendidikan Nasional, 2008) h. 1

[14] Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, (Departemen Pendidikan Nasional, 2008) h. 27

[15] Depdiknas, Wajib Belajar Pendidikan Dasar 1945-2007, ((Departemen Pendidikan Nasional, 2008) h. 59. Lihat juga Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Sosialisasi Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu, (Departemen Pendidikan Nasional, 2008) h. 28

[16] Direktorat Pembinaan SMP, Panduan Pelaksanaan Sosialisasi Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu, (Departemen Pendidikan Nasional, 2008) h. 6

[17] Pusat Bahasa, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdiknas, 2008) h. 331

[18] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 8

[19] Ralp G Lewis dan Douglas H. Smith, Total Quality in Higher Education (Florida: St. Lucie Press. 1994) h.28

[20] Slamet, Margono, Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu (IPB Bogor, 1999) h. 34

[21] Edward Sallis, Total Quality Management in Education, (London: Kogan Page, 1993) h. 96.

[22] Philip Phenix, Realms of Meaning: A Philosophy of the Curriculum For General Education, New York, Mc. Graw Hill Book Co., 1964, hlm. 10.

[23] Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008) h. 126.

[24] Jacques Delors et. al., Learning: The Treasure Within. (Paris: Unesco, 1996).

[25] Ditjen PMPTK, Rencana Pembangunan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Depdiknas, 2007) h. 25

[26] Direktorat Pembinaan SMP, Analisis Perkembangan Nilai Ujian Nasional TA 2004/2005 Sampai Dengan 2007/2008, (Depdiknas: 2008) h. 2

[27] Ibid, hh. 3-8

[28] Ibid, h. 9

10 Comments (+add yours?)

  1. irvanmumtaza
    Sep 19, 2010 @ 07:58:26

    Terima kasih atas informasi tentang kajian pendidikan yang sangat detail yang berguna bagi pembaca.

    Salam kenal,
    Muhammad Irvan Mumtaza
    “Pelajar Indonesia”

    Reply

    • Gumono
      Sep 19, 2010 @ 11:16:02

      Terima kasih telah berkenan mampir Bung Irvan!
      Senang sekali bisa berkenalan dengan Anda, dan berbagi pengetahuan yang “kurang seksi”.

      Salam

      Reply

  2. hikmawansp
    Mar 12, 2012 @ 10:22:27

    terima kasih, bisa menjadi bahan acuan sya dlm mngerjakan tugas kuliah..

    Reply

  3. Ucok B
    Jun 14, 2012 @ 22:45:16

    thanks, infonnya, mohn ijin copas

    Reply

  4. Trackback: Pentingnya Pendidikan 9 Tahun « garindranusa
  5. Juan
    May 08, 2014 @ 15:00:06

    Mohon izin untuk referensi tugas akhir pak…terima kasih

    Reply

  6. Trackback: Les Privat SD MI Guru Datang – Les Privat Jenius Jogja
  7. sebastian
    Feb 06, 2017 @ 08:58:53

    menykseskan wajib belajar 9 tahun

    Reply

Leave a reply to Gumono Cancel reply